Contoh Makalah Tentang Peranan Pendidikan
Tugas Belajar SD, SMP dan SMA
Contoh Makalah, Contoh Pidato, Rumus Matematika
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan
sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia
menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat
serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang
baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan
mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan
tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem
pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi
tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan,
pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi
perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan
prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Guru
adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan. Dalam proses
pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar
dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan
pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru
bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila
yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Djamarah berpendapat bahwa baik
mengajar maupun mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru
sebagai tenaga profesional agar menjadi manusia susila yang cakap,
aktif, kreatif, dan mandiri. Djamarah berpendapat bahwa baik mengajar
maupun mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga
profesional2. Oleh sebab itu, tugas yang berat dari seorang guru ini
pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh guru yang memiliki
kompetensi profesional yang tinggi.
Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu sekolah sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya.
Menurut
Aqib guru adalah faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di
sekolah, karena guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar
mengajar3. Lebih lanjut dinyatakan bahwa guru merupakan komponen yang
berpengaruh dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah4. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan atau kompetensi profesional dari seorang
guru sangat menentukan mutu pendidikan.
Kompetensi
profesional guru dalam hal ini guru matematika SMP Negeri di wilayah
Kabupaten Pandeglang masih relatif rendah. Berdasarkan hasil Tes
Kompetensi Guru yang dilakukan Depertemen Pendidikan Nasional Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutran
Pertama yang bekerja sama dengan Pusat Penilaian Pendidikan pada Tahun
2003, menunjukkan bahwa rata-rata nilai kompetensi guru matematika di
Kabupaten Pandeglang hanya mencapai 42,25 %. Angka ini masih relatif
jauh di bawah standar nilai kompetensi minimal yang diharapkan yaitu 75
%. nilai kompetensi minimal yang diharapkan yaitu 75 %.
Pada
dasarnya tingkat kompetensi profesional guru dipengaruhi oleh faktor
dari dalam guru itu sendiri yaitu bagaimana guru bersikap terhadap
pekerjaan yang diemban. Sedangkan faktor luar yang diprediksi
berpengaruh terhadap kompetensi profesional seorang guru yaitu
kepemimpinan kepala sekolah, karena kepala sekolah merupakan pemimpin
guru di sekolah.
Sikap
guru terhadap pekerjaan merupakan keyakinan seorang guru mengenai
pekerjaan yang diembannya, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan
memberikan dasar kepada guru tersebut untuk membuat respons atau
berperilaku dalam cara tertentu sesuai pilihannya. Sikap guru terhadap
pekerjaan mempengaruhi tindakan guru tersebut dalam menjalankan
aktivitas kerjanya. Bilamana seorang guru memiliki sikap positif
terhadap pekerjaannya, maka sudah barang tentu guru akan menjalankan
fungsi dan kedudukannya sebagai tenaga pengajar dan pendidik di sekolah
dengan penuh rasa tanggung jawab. Demikian pula sebaliknya seorang guru
yang memiliki sikap negatif terhadap pekerjaannya, pastilah dia hanya
menjalankan fungsi dan kedudukannya sebatas rutinitas belaka. Untuk itu
amatlah perlu kiranya ditanamkan sikap positif guru terhadap pekerjaan,
mengingat peran guru dalam lingkungan pendidikan dalam hal ini sekolah
amatlah sentral.
Contoh Kliping SD, SMP dan SMA
Sikap guru terhadap pekerjaan dapat dilihat dalam bentuk persepsi dan kepuasaannya terhadap pekerjaan maupun dalam bentuk motivasi kerja yang ditampilkan. Guru yang memiliki sikap positif terhadap pekerjaan, sudah barang tentu akan menampilkan persepsi dan kepuasan yang baik terhadap pekerjaanya maupun motivasi kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru yang mampu bekerja secara profesional dan memiliki kompetensi profesional yang tinggi kinerjaanya maupun motivasi kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru yang mampu bekerja secara profesional dan memiliki kompetensi profesional yang tinggi. Sikap positif maupun negatif seorang guru terhadap pekerjaan tergantung dari guru bersangkutan maupun kondisi lingkungan. Menurut Walgito, sikap yang ada pada diri seseorang dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis, serta faktor eksternal, yaitu berupa situasi yang dihadapi individu, normanorma, dan berbagai hambatan maupun dorongan yang ada dalam masyarakat.
Sikap guru terhadap pekerjaan dapat dilihat dalam bentuk persepsi dan kepuasaannya terhadap pekerjaan maupun dalam bentuk motivasi kerja yang ditampilkan. Guru yang memiliki sikap positif terhadap pekerjaan, sudah barang tentu akan menampilkan persepsi dan kepuasan yang baik terhadap pekerjaanya maupun motivasi kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru yang mampu bekerja secara profesional dan memiliki kompetensi profesional yang tinggi kinerjaanya maupun motivasi kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru yang mampu bekerja secara profesional dan memiliki kompetensi profesional yang tinggi. Sikap positif maupun negatif seorang guru terhadap pekerjaan tergantung dari guru bersangkutan maupun kondisi lingkungan. Menurut Walgito, sikap yang ada pada diri seseorang dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis, serta faktor eksternal, yaitu berupa situasi yang dihadapi individu, normanorma, dan berbagai hambatan maupun dorongan yang ada dalam masyarakat.
Sekolah
sebagai organisasi, di dalamnya terhimpun unsur-unsur yang masingmasing
baik secara perseorangan maupun kelompok melakukan hubungan keja sama
untuk mencapai tujuan. Unsur-unsur yang dimaksud, tidak lain adalah
sumber daya manusia yang terdiri dari kepala sekolah, guru-guru, staf,
peserta didik atau siswa, dan orang tua siswa. Tanpa mengenyampingkan
peran dari unsur-unsur lain dari organisasi sekolah, kepala sekolah dan
guru merupakan personil intern yang sangat berperan penting dalam
menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah.
Keberhasilan
suatu sekolah pada hakikatnya terletak pada efisiensi dan efektivitas
penampilan seorang kepala sekolah. Sedangkan Sekolah sebagai lembaga
pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan dan proses
belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam
hal ini kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk
memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya
tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan menjadi pemimpin dan inovator
di sekolah. Oleh sebab itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah
signifikan bagi keberhasilan sekolah. bertanggung jawab atas tercapainya
tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan menjadi pemimpin dan inovator
di sekolah. Oleh sebab itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah
signifikan bagi keberhasilan sekolah.
Wahjosumidjo
mengemukakan bahwa: Penampilan kepemimpinan kepala sekolah adalah
prestasi atau sumbangan yang diberikan oleh kepemimpinan seorang kepala
sekolah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang terukur dalam
rangka membantu tercapainya tujuan sekolah. Penampilan kepemimpinan
kepala sekolah ditentukan oleh faktor kewibawaan, sifat dan
keterampilan, perilaku maupun fleksibilitas pemimpin. Menurut
Wahjosumidjo, agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil
memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai
dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki
kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman,
pelatihan dan pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan
pengawasan.
Kemampuan
profesional kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yaitu
bertanggung jawab dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yang
kondusif, sehingga guru-guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik
dan peserta didik dapat belajar dengan tenang. Disamping itu kepala
sekolah dituntut untuk dapat bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal
ini guru.
Kepemimpinan
kepala sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan sarana
dan prasarana dan kurang memperhatikan guru dalam melakukan tindakan,
dapat menyebabkan guru sering melalaikan tugas sebagai pengajar dan
pembentuk nilai moral. Hal ini dapat menumbuhkan sikap yang negatif dari
seorang guru terhadap pekerjaannya di sekolah, sehingga pada akhirnya
berimlikasi terhadap keberhasilan prestasi siswa di sekolah.
keberhasilan prestasi siswa di sekolah.
Kepala
sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah secara keseluruhan, dan
kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di sekolahnya. Dalam
suatu lingkungan pendidikan di sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab
penuh untuk mengelola dan memberdayakan guru-guru agar terus
meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas
segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-guru yang juga
merupakan mitra kerja kepala sekolah dalam berbagai bidang kegiatan
pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap
pekerjaannya dan meningkatkan kompetensi profesionalnya
Berdasarkan
uraian diatas menunjukkkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah dan sikap
guru terhadap pekerjaan merupakan faktor yang cukup menentukan tingkat
kompetensi profesional guru. Sehinga dapat diduga bahwa masih rendahnya
kompetensi profesional guru dalam hal ini guru matematika SMP Negeri di
Kabupaten Pandeglang, disebabkan oleh kompetensi profesional guru itu
sendiri yang rendah, kepemimpinan kepala sekolah yang kurang efektif dan
sikap guru yang negatif terhadap pekerjaannya. Atas dasar pemikiran
tersebut, peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Sikap Guru terhadap Pekerjaan
dengan Kompetensi Profesional Guru Matematika SMP Negeri di Kabupaten
Pandeglang.
Masalah yang muncul berkenaan dengan hubungan kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru, diidentifikasikan sebagai berikut:
- Apakah kepemimpinan kepala sekolah memiliki hubungan dengan kompetensi profesional guru.
- Apakah sikap guru terhadap pekerjaan memiliki hubungan dengan kompetensi profesional guru.
- Apakah kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan berhubungan dengan kompetensi profesional guru.
- Apakah kompetensi profesional guru dapat ditingkatkan melalui kepemimpinan kepala sekolah.
- Apakah kompetensi profesional guru dapat ditingkatkan melalui sikap guru terhadap pekerjaan guru.
- Apakah para guru telah mempunyai tingkat kompetensi profesional yang tinggi.
- Apakah kepala sekolah telah menerapkan kepemimpinan yang efektif dan relevan dengan kondisi sekolah.
- Apakah para guru telah memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya.
- Apakah kepemimpinan kepala sekolah yang semakin positif akan diiringi dengan semakin positifnya kompetensi profesional guru.
- Apakah sikap guru terhadap pekerjaan yang positif akan diiringi dengan semakin positifnya
- Apakah tingkat kompetensi profesional guru yang rendah diakibatkan oleh kepemimpinan kepala sekolah yang kurang efektif dan tidak relevan.
- Apakah tingkat kompetensi profesional guru yang rendah diakibatkan oleh sikap guru yang negatif terhadap pekerjaannya.
- Bagaimana pola hubungan fungsional antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
Pembatasan masalah dilakukan agar penelitian lebih terarah, terfokus, dan tidak menyimpang dari sasaran pokok penelitian. Oleh karena itu, penulis memfokuskan kepada pembahasan atas masalah-masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalahan yang terdiri dari :
- Hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru.
- Hubungan antara sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
- Hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
D. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan langkah yang paling penting dalam penelitian ilmiah. Perumusan masalah berguna untuk mengatasi kerancuan dalam pelaksanaan penelitian. Berdasarkan masalah yang dijadikan fokus penelitian, masalah pokok penelitian tersebut dirumuskan sebagai berikut :
- Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru.
- Apakah terdapat hubungan antara sikap terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
- Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi profesional guru.
Kegunaan
dari penelitian yaitu untuk meningkatkan kompetensi profesional guru
dengan melihatnya dari aspek kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru
terhadap pekerjaan. Untuk maksud tersebut, dicari hubungan antara
kepemimpinan kepala sekolah dengan kompetensi profesional guru dan
hubungan antara sikap guru terhadap pekerjaan dengan kompetensi
profesional guru. Setelah itu dikaji bagaimana hubungan antara
kepemimpinan kepala sekolah dan sikap guru terhadap pekerjaan secara
bersama-sama dengan kompetensi profesional guru. Dengan mengetahui
hubungan tersebut, hasil penelitian diharapkan berguna untuk
meningkatkan kompetensi profesional guru matematika khususnya di
Kabupaten Pandeglang.
PEMBAHASAN
Betapapun
terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap
pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir
semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di
masa depan sangat bergantung pada kontibusinya pendidikan. Shane (1984:
39), misalnya sangat yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan
kontribusi pada kebudayaan di hari esok. Pendapat yang sama juga bisa
kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomer
20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU No. 20/2003), yang
antara lain menyatakan bahwa:
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.
Dengan
demikian, sebagai institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah
dan etika masa depan. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh
kesadaran bahwa setiap anak manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa
depan bersama-sama dengan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal
ini berarti bahwa, di satu pihak, etika masa depan menuntut manusia
untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas konsekuensi dari setiap
perbautan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu pihak lain,
manusia ditutut untuk mampu mengantisipasi, merunuskan nilai-nilai, dan
menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar
generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang
semakin tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001:
198-199).
Dalam
konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan seharusnya
lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari
masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan
dari kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001:
198).
Visi
ini tentu saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus
solid. Idealnya, pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril
dari berbagai permasalahan. Namun hal ini adalah suatu kemustahilan.
Suka atau tidak suka, permasalahan akan selalu ada dimanapun dan
kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan. Oleh karena itu,
persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru
perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan
mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari
solusinya.
Contoh Kliping SD, SMP dan SMA
Makalah ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan kontemporer di Indonesia. Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum menguraikan permasalahan eksternal dan internal tersebut, terlebih dahulu disajikan uraian singkat tentang fungsi pendidikan. Uraian yang disebut terakhir ini dianggap penting, karena permasalahan pendidikan pada hakekatnya terkait erat dengan realisasi fungsi pendidikan.
Contoh Kliping SD, SMP dan SMA
Makalah ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan kontemporer di Indonesia. Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan permasalahan internal. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal. Namun sebelum menguraikan permasalahan eksternal dan internal tersebut, terlebih dahulu disajikan uraian singkat tentang fungsi pendidikan. Uraian yang disebut terakhir ini dianggap penting, karena permasalahan pendidikan pada hakekatnya terkait erat dengan realisasi fungsi pendidikan.
Fungsi
Pendidikan Pasal 3 UU No. 20/2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam rumusan pasal 3 UU No. 20/2003 ini terkandung empat fungsi yang
harus diaktualisasikan olen pendidikan, yaitu: (1) fungsi mengembangkan
kemampuan peserta didik, (2) fungsi membentuk watak bangsa yang
bermartabat, (3) fungsi mengembangkan peradaban bangsa yang bermartabat,
dan (4) fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa. Noeng Muhadjir (1987:
20-25) menyebutkan bahwa, sebagai institusi pendidikan mengemban tiga
fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi menumbuhkan kreativitas peserta
didik. Kedua, pendidikan berfungsi mewariskan nilai-nilai kepada peserta
didik; dan Ketiga, pendidikan berfungsi meningkatkan kemampuan kerja
produktif peserta didik.
Kalau
dibandingkan dengan fungsi pendidikan yang termaktup dalam rumusan
pasal 3 UU No. 20/2003 di atas, fungsi pertama yang dikemukakan Noeng
Muhadjir secara substantive sama dengan fungsi keempat menurut UU No.
20/2003.
Sedangkan
fungsi pendidikan ketiga yang dikemukakan Noeng Muhadjir pada dasarnya
sama dengan fungsi pertama menurut UU No. 20/2003. Sementara itu,
Vebrianto, seperti dikutip M. Rusli Karim (1991: 28) menyebutkan empat
fungsi pendidikan. Keempat fungsi dimaksud adalah: (1) transmisi
kultural, pengetahuan, sikap, nilai dan norma ; (2) memilih dan
menyiapkan peran sosial bagi peserta didik; (3) menjamin intergrasi
nasional; dan (4) mengadakan inovasi-inovasi sosial. Terlepas dari
adanya perbedaan rincian dalam perumusan fungsi pendidikan seperti
tersebut di atas, namun satu hal yang pasti ialah bahwa fungsi utama
pendidikan adalah membantu manusia untuk meningkatkan taraf hidup dan
martabat kemanusiaannya. 1. Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini
Permasalahan
eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat
komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei
eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan
meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga
dimensi global. Dari berbagai permasalahan pada dimensi eksternal
pendidikan di Indonesia dewasa ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua
permasalahan, yaitu permasalahan globalisasi dan permasalahan perubahan
sosial.
Permasalahan
globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend
abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sector kehidupan,
termasuk pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah perubahan sosial
adalah masalah klasik bagi pendidikan, dalam arti ia selalu hadir
sebagai permasalahan eksternal pendidikan, dan karenya perlu dicermati.
Kedua permasalahan tersebut merupakan tantangan yang harus dijawab oleh
dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil mengemban misi (amanah)
dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan.
1.1. Permasalahan globalisasi
Globalisasi
mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan
global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti
terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global
(Fakih, 2003: 182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi
pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam
pendidikan dunia. Sebegitu jauh, globalisasi memang belum merupakan
kecenderungan umum dalam bidang pendidikan. Namun gejala kearah itu
sudah mulai Nampak.
Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO. Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan.
Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).
Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah menengah.
Contoh Kliping SD, SMP dan SMA
Sejumlah SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO. Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output pendidikan.
Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).
Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah menengah.
Contoh Kliping SD, SMP dan SMA
Bila
persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak
menjadi sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah
adanya regulasi-regulasi. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada
batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar
internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar
internasional tersebut sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi
berstandar internasional ini kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi
output pendidikan untuk memperolah untuk memperoleh akses ke bursa
tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius
bagi pendidikan nasional.
Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.
Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.
Ada
sebuah adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi,
semuanya berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Itu artinya, perubahan social merupakan peristiwa yang tidak bisa
dielakkan, meskipun ada perubahan social yang berjalan lambat dan ada
pula yang berjalan cepat. Bahkan salah satu fungsi pendidikan,
sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan inovasi-inovasi
social, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan social.
Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini
ternyata justru melahirkan paradoks. Kenyataan menunjukkan bahwa,
sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi
yang demikian pesat dewasa ini, perubahan social berjalan jauh lebih
cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan.
Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi
lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial
secara akurat (Karim, 1991: 28).
Dalam
kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan dan
perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat
peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang
tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan
berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya
sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan
mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan
keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus
menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.
2. Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini
Seperti
halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di
Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001:
210-225) misalnya, mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi
permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran,
peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga permasalahan tersebut
sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti permasalahan yang
berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan prasarana, manajemen,
anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai permasalahan
internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas tiga
permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan
sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
2.1. Permasalahan Sistem Kelembagaan
Permasalahan
sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah
mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan
pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum dan
pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam
klasik yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh
syariah dan ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi
al-Ghazali (Otman, 1981: 182).
Dualisme
dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita
anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa
ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena ia, menurut
Ahmad Syafii Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan sosok manusia yang
pincang. Jenis pendidikan yang pertama melahirkan sosok manusia yang
berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya sebagai urusan pribadi.
Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang
taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi
sistem kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat
melahirkan sosok manusia Indonesia seutuhnya. Oleh karena itu, Ahmad
Syafii Maarif (1996: 10-12) menyarankan perlunya modal pendidikan yang
integrative, suatu gagasan yang berada di luar ruang lingkup pembahasan
makalah ini.
2.2. Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah
satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran
adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah
menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas
proses pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat
tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting bagi
keberhasilan pendidikan. Menurut Suyanto (2007: 1), guru memiliki
peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap
gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis
alfabetikal maupun funfsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi
tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya. Tetapi segera ditambahkan:
guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki
profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa digugu lan ditiru.
Lebih
jauh Suyanto (2007: 3-4) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus
memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri
dimaksud adalah: (a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b)
harus berdasarkan atas kompetensi individual, (c) memiliki sistem
seleksi dan sertifikasi, (d) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat
antar sejawat, (e) adanya kesadaran profesional yang tinggi, (f) meliki
prinsip-prinsip etik (kide etik), (g) memiliki sistem seleksi profesi,
(h) adanya militansi individual, dan (i) memiliki organisasi profesi.
Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di
atas jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui
sistem pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan
guru tidak bisa dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan
sebagai moon-lighter (usaha objekan) Suyanto (2007: 4). Namun kenyataan
dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer, yang
tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan
sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia
pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak,
guru yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal
yang harus menjadi pekerjaan rumah bagi pendidikan nasional masa kini.
2.3. Permasalahan Strategi Pembelajaran
Menurut
Suyanto (2007: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh
yang sangat signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu
memberdayakan para peserta didik. Tuntutan global telah mengubah
paradigma pembelajaran dari paradigma pembelajaran tradisional ke
paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan paradigma
pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal,
berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian
informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan. Paulo Freire
(2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai
strategi pelajaran dalam gaya bank (banking concept).
Di
pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai
berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung
dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid
berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta
pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model
pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai
strategi pembelajaran hadap masalah (problem posing). Meskipun dalam
aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat
tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke
arah model baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran
lebih banyak menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari
pembelajaran baru (Idrus, 1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat
dengan rendahnya professionalisme guru.
PENUTUP
Permasalahan
pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat kompleks. Makalah
ini dengan segala keterbatasannya, hanya sempat menyoroti beberapa
diantaranya yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan
eksternal dan internal. Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah
globalisasi dan masalah perubahan social sebagai lingkungan pendidikan.'
Sedangkan
menyangkut permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan
(dialisme dikotomi), profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
Dari pemahaman terhadap sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat
disimpulkan bahwa berbagai permasalahan pendidikan yang komplek itu,
baik eksternal maupun internal adalah saling terkait. Hal ini tentu saja
menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan
pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial; yang merupakan
pendekatan terpadu. Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas yang
belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung
jawab. Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa
berharap pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era
globalisasi dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
- Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
- Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya dkk. Jakarta: LP3ES.
- Joesoef, Daoed, 2001. Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran, dalam Sularto ( ed .). Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Antara Cita dan Fakta. Jakarta: Kompas.
- Karis, M. Rusli. 1991, Pendidikan Islam sebai Upaya Pembebasan Manusia, dalam Muslih Usa (ed.). Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Kuntowijoyo, 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental, Bandung: Mizan.
- Maarif, Ahmad Syafii, 1987. Masalah Pembaharuan Pendidikan Islam, dalam Ahmad Busyairi dan Azharudin Sahil ( ed .). Tantangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: LPM UII.
- Maarif. Ahmad Syafii, 1996. Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat. Jurnal Pendidikan Islam, No. 2 Th.I/Oktober 1996.
- Muhadjir, Noeng, 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Reka Sarasih
- Muhadjir, Noeng, 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Social: Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Reka Sarasih.
- Othman, Ali Issa, 1981. Manusia Menurut al-Ghazali, alih bahasa Johan Smit dkk. Bandung: Pustaka.
- Shane, Harlod G., 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali Pers.
- Soedjatmoko, 1991. Nasionalisme sebagai Prospek Belajar, Prisma, No. 2 Th. XX, Februari.
- Suyanto, 2007, Tantangan Profesionalisme Guru di Era Global, Pidato Dies Natalis ke-43 Universitas Negeri Yogyakarta, 21 Mei.
0 komentar:
Post a Comment